Seperti
teman satu kelas lainnya, aku dan dia memang akrab berteman. Selain Karena dia
duduk dibelakangku, dia juga adalah seseorang yang menyenangkan jika diajak
berbicara. Teman sebangkunya pun juga akrab denganku, hanya teman sebangkuku
saja yang sangat dingin atau terlalu malu untuk menyapa dan bertanya. Ya…
Maklum, siswa baru. Baru hamper 5 bulan duduk satu bangku, sekalipun belum
pernah dia menyapa atau bertanya kepadaku. Ironis memang kedengarannya, tapi
itulah kenyataanya. Tapi tak masalah memanglah sikapnya seperti itu.
Aku dan
dia awalnya hanya dekat biasa, sering mengobrol karena memang dekat untuk
mengobrol. Saling sapa di dunia maya, bahkan saling mengirim pesan singkat
untuk sekedar menanyakan tugas ataupun pr. Namun, lama-kelamaan tak tau
bagaimana karena mengalir begitu saja yang awalnya hanya berupa candaan mulai
berubah menjadi keseriusan. Aku tak
yakin dengan hal ini. Selama ini aku merasa nyaman dan aman sebagai temannya,
tak inginkan lebih.
Saat itu sudah mendekati
akhir semester, itu berarti aku dan dia tidak akan bersatu dalam satu kelas
terlebih lagi karena kita memilih jurusan yang berbeda, akan sangat mustahil
untuk kembali bersama dalam satu kelas. Entah sudah kesekian kalinya dia
menyatakan perasaan yang aku anggap perasaan bodohnya itu. Dia mengatakan bahwa
dia menyukaiku dengan alasan karena aku unik. Aku tak pernah menanggapinya
dengan serius aku terus mempertanyakan alasan-alasan yang masuk akal, alasan
kenapa dia menyukaiku.
Hingga
pada saatnya tiba, mungkin dia sudah lelah menjawab pertanyaanku dan lelah
melihat sikapku yang seperti tidak pernah menanggapi perasaannya dengan serius.
Dia mulai membutuhkan kepastian, dia merasa bosan dengan cinta sepihak yang dia
buat sendiri. Awalnya aku tak yakin dengan keputusannya untuk melakukan hal
ini. Namun, inilah faktanya dia mulai meminta jawaban akan semua perasaan yang
dia tunjukkan dan dia berikan selama ini. Jawabanku tetap sama, aku hanya
menganggapnya sebagai teman. Walaupun ada sedikit terbesit dihati kecil untuk
menginginkan perasaan itu bersatu.
Malam
itu bibirku kelu, tanganku tak bisa mengikuti jeritan hati kecilku. Dengan
alasan yang juga tidak logis aku berusaha untuk mengatakan simpan saja
perasaanmu, dengan kita hanya berteman itu akan lebih baik. Menghargai perasaanku
dia tetap tersenyum menanggapi apa yang aku rasakan. Dia tetap mengatakan bahwa
aku akan tetap menyukaimu…
Aku
mulai tenggelam dalam anganku membayangkan apa yang selama ini dia lakukan.
Apakah aku telah meyesal untuk hal ini? Ya, aku menyesal, aku menginginkanya.
Perasaan bodohnya itu sama seperti bodohnya aku saat tak menanggapi perasaannya.
Saat aku mencoba untuk memperbaikinya, berusaha untuk mengejarnya. Dia tak
menginginkan hal yang sama. Dia tak percaya bahwa rasa ini benar-benar ada, ada
untuknya. Air mata menetes dengan sendirinya. Entah mengapa hati ini terasa
begitu sakit, dada ini begitu terasa sesak. Dan diakhir malam itu dia menginkan
untuk agar kita tidak saling berhubungan lagi, saling melupakan antara satu
sama lain…
Aku sadar, aku mengerti dia takkan pernah menjadi
milikku. Karena dia adalah temanku.
Komentar
Posting Komentar